RUU Pertembakauan, Cara Kreatif Tolak Impor Regulasi
| Aktivitas buruh IHT di salah satu perusahaan di Kudus |
RUU pertembakauan masuk pada salah satu
dari 37 RUU prioritas tahun 2015 untuk dibahas. RUU tersebut menjadi salah satu
dari 159 RUU yang menjadi agenda pembahasa Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia periode 2015-2019 untuk diselesaikan.
RUU Pertembakauan tersebut lahir dari
perdebatan panjang pro-kontra antarkelompok masyarakat mengenai produksi dan
konsumsi tembakau yang diklaim menimbulkan dampak masalah kesehatan, walaupun
isu kesehatan sendiri dinilai tidak berdiri sendiri menjadi faktor determinan
dalam merespons problem pertembakauan.
Di sisi lain, regulasi yang menjadi
landasan yuridis dalam pengaturan masalah pertembakauan juga dinilai kurang
memadai. Regulasi yang ada lebih banyak merespons isu tembakau dari dimensi
kesehatan. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang
menegaskan tembakau sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan.
Padahal, pengaturan masalah tembakau
tidak cukup hanya dilihat dari isukesehatan, karena masalahnya telah melebar
menjadi persoalan yang multiproblem. Masalah pertembakauan bukanlah masalah
”bisnis asap” semata, namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke dalam
”tulang sumsum” sistem ekonomi masyarakat. Mulai hulu sampai hilir bisnis ”asap
ajaib” ini telah menggerakkan pasar ekonomi dengan omzet ratusan triliun
rupiah.
Dari ilustrasi tersebut, rasanya sulit menerima
argumentasi bahwa masalah pertembakauan hanya semata problem kesehatan an sich, sehingga tembakau harus
mendapatkan perlakuan diskriminatif. Persoalannya bukan karena kita tidak butuh
sehat, melainkan relasi antara tembakau dan kesehatan masih menimbulkan
perdebatan.
Di sisi lain, disinyalir regulasi yang
mengatur masalah pertembakauan di Indonesia lebih banyak diadopsi (baca:
diimpor) dari negara asing. Contoh nyata regulasi impor adalah label warning
yang tersaji dalam bungkus rokok keretek. Regulasi ini dilaksanakan. Label yang
berbunyi ”Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan
Gangguan Kehamilan dan Janin”, yang
kemudian diubah menjadi 5 (lima) paket teks dan gambar yang menginformasikan
adanya ancaman penyakit tetentu. Antara lain; Merokok sebabkan kanker mulut,
Merokok sebabkan kanker tenggorokan,
Merokok sebabkan kanker paru-paru dan
bronkitis kronis, Merokok dengan anak berbahaya bagi mereka, dan Merokok membunuhmu,
sebetulnya merupakan produk pemikiran dan hasil riset impor yang diterima tanpa
reserve.
Klaim dalam label warning dalam bungkus
keretek tersebut menurut Wanda Hamilton dalam bukunya Nicotine War-Perang
Nikotin dan Para Pedagang Obat, berasal dari Surgeon General (SG). SG sendiri
merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan Sains Pemerintah
Amerika Serikat. SG didirikan oleh Kongres pada 1798. Sekarang ini pejabatnya
adalah Vice Admiral Regina M Benjamin MD MBA.
Laporan Surgeon General tentang pengaruh
rokok terhadap kesehatan pertama kali diterbitkan pada 1964. Laporan ini berisi
hasil penelitian kasus-kasus di AS tentang pengaruh rokok terhadap semua sistem
organ tubuh yang diperbaharui secara berkala. Menurut Wanda Hamilton, sejak
1988 Surgeon General telah disusupi orang-orang dari pabrik farmasi yang
membuat permen karet nikotin dan koyok nikotin, yaitu produk-produk pengganti
rokok.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan dan
belum mendapatkan jawaban dari kegiatan riset sampai sekarang baik oleh
regulator, akademisi, maupun stakeholders kretek adalah bagaimana dengan rokok
asli Indonesia (kretek), apakah juga menyebabkan stigma penyakit sebagaimana
klaim dalam bungkus rokok tersebut?
Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul
Study casts doubt on heart Study casts doubt on heart risk factorsrisk factors
(International News, 25/8/1998), mengungkapkan, studi kardiologi paling besar
yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung
dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang
tinggi. Bahkan, Monica study, melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun.
Para ilmuwan tidak dapat menemukan
koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas,
merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol. Hasil studi ini diumumkan the
European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998. Studi yang paling
lama dan paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan
jantung, terutama di Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan
Australia.
Sekalipun hasil studi Monica yang
didanai Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan tidak adanya hubungan antara
penyakit jantung dan faktor risiko fisik, WHO tetap saja mengatakan bahwa
faktor-faktor risiko klasik (karena tembakau) merupakan kontribusi utama bagi
risiko individual.
Instrumen
Internasional
Seperti diketahui, saat ini di tingkat
internasional ada instrumen lega yang mengatur tentang distribusi rokok.
Instrumen dari WHO tersebut adalah Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC). Indonesia dan Amerika sendiri sampai saat ini belum menandatangani
FCTC. FCTC adalah sebuah perjanjian (treaty) atau instrumen internasional yang
dibuat di bawah pengawasan WHO.
FCTC ini dibuat dan dikembangkan dengan
maksud untuk merespons epidemi penggunaan tembakau di era global. Anehnya
beberapa produk regulasi hukum tersebut selalu memberi penekanan yang lebih
berat pada sektor tembakau dan industri hasil tembakau (IHT). Padahal, ada
stakeholder lain yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai
konsumen, dan kelompok kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai
pressure group.
Menurut Ralf Dahrendorf, negara hukum
yang demokratis mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial. Pertama, persamaan
dalam setiap proses politik. Kedua, tidak ada kelompok yang memonopoli. Ketiga,
berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik. Keempat,
menerima perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang tidak
dapat dihindarkan.
Sayangnya, produk regulasi hukum
tembakau dan IHT tidak sepenuhnya dapat menggambarkan terjaminnya
prinsipprinsip tersebut. Hal ini bias dilihat dari sikap ”given” pemerintah
yang teresonansi dalam penerbitan UU Kesehatan dan PP 109/2012 secara konten
mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat FCTC.
Sebagaimana pendapat Sinzheimer bahwa
hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang
abstrak, melainkan ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan
manusia-manusia yang hidup. Produk hukum di Indonesia seharusnya bersumber dan
berdasar pada ideologi Pancasila yang disebut Sang Proklamator Soekarno sebagai
”Philosofischegrondslad” dan harus berdasarkan pada UUD 1945.
Secara teoretis, menurut kriminolog
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro IS Susanto, ada tiga perspektif mengenai
pembentukan undang-undang untuk menjelaskan hubungan antara hukum
(undang-undang) dengan masyarakat. Pertama,
model konsensus. Model ini mendasarkan pada asumsi bahwa undang-undang
merupakan pencerminan dari nilai dasar kehidupan sosial.
Dengan demikian, pembuatan serta
penerapan undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan
keinginan kolektif. Kedua, model
pluralis. Model ini menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial
yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai.
Ketiga, model konflik. Menyadari kebutuhan akan adanya
mekanisme penyelesaian konflik, masyarakat sepakat terhadap struktur hukum yang
dapat menyelesaikan konflik tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat.
Substansi FCTC yang nyatanyata mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan
stakeholders keretek di Indonesia, tidak bisa diadopsi begitu saja substansinya
menjadi substansi hukum di Indonesia.
Semestinya produk regulasi hukum
semangatnya adalah mencari titik temu antar berbagai kepentingan. Produknya
harus memperhatikan berbagai dimensi dan sudut pandang, baik industri, petani,
tenaga kerja, serta dimensi lingkungan dan kesehatan. Produk hukum sebagai
produk kebijakan publik harus meramu nilai keadilan (filosofis), kemanfaatan
(sosiologis), dan bukan hanya semata menonjolkan aspek hukum (normatif) semata.
(*)
Zamhuri, Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo)
Universitas Muria Kudus
Diadaptasi dari Koran SINDO Selasa, 17 Februari 2015
Labels
Pringgitan
Post A Comment
Tidak ada komentar :