Kretek, Dari Historisitas, Nasionalisme, Hingga Kemandirian Ekomoni
BANYAK buku mengenai kretek dan Industri
Hasil Tembakau (IHT) yang lahir, baik yang diterbitkan oleh pihak (kelompok)
yang pro maupun kontra (anti) terhadap kretek. Namun buku mengenai kretek yang
satu ini sungguh sangat berbeda.
Ditulis dengan riset yang cukup
melelahkan oleh tim dari Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) bekerjasama
dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM),
karena penggalian datanya dilakukan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Belanda.
Dimulai dengan pembahasan mengenai
“Kretek: Nasionalisme dan Kemandirian Ekonomi”,
dilanjutkan dengan pembahasan seputar “Kretek: Dimensi Sosial dan
Budaya”, dan dilengkapi “Esai-Esai Kebudayaan” di bagian akhir, menjadikan buku
ini kaya akan informasi mengenai kretek yang belum banyak diungkap oleh penulis
dan peneliti lain.
Buku ini memaparkan secara apik
bagaimana peran kretek dan IHT bagi masyarakat pribumi pada masa kolonial
hingga saat ini. Direktur Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Aprinus Salam,
mengapresiasi buku yang memaparkan data yang sangat kaya ini.
Dalam pengantarnya dia mengatakan, “ ...
Buku ini membawa kita pada kesadaran bahwa mempelajari kretek berarti juga
mempelajari sejarah pergerakan, revolusi Indonesia, dan sejarah perekonomian
serta kehidupan sosial di (terutama) kota-kota Jawa”.
Ia berkesimpulan, sisi menarik buku
Kretek Indonesia; Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya ini, karena mampu
membangkitan sikap kritis dan optimisme terhadap kretek, di balik segala kontroversi
dan dinamikanya.
Menariknya lagi, menurut pengakuan Uji
Nugraha W, salah satu peneliti, kendati buku ini membahas soal kretek dan IHT,
namun tidak semua peneliti (penulis) yang terlibat adalah perokok atau
penghisap kretek, terlebih dua perempuan yang menjadi tim dalam penelitian dan
penulisan buku ini.
Uji Nugraha W sendiri, memiliki analog
yang cukup menarik mengenai kretek, khususnya pada masa kolonial. Dia menyebut
kretek pada masa kolonial sebagai martabat ekonomi pribumi. Sebab, industri
kretek sumber dayanya milik pribumi, pekerjanya orang pribumi, dan direkturnya
juga orang pribumi.
Sri Margana, penulis yang juga Ketua
Jurusan Sejarah FIB UGM, mengemukakan, bahwa sudah banyak buku tentang kretek
yang terbit dengan mengulas banyak perspektif. Hanya saja, belum ada yang
melihat dari sisi historis.
Inilah kelebihan buku Kretek Indonesia;
Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya ini, yang tidak hanya menjadi buku
wajib baca bagi mereka yang pro terhadap kretek dan IHT. Komunitas anti kretek
pun perlu membacanya, agar tidak melihat kretek dan IHT secara sinis dan stigma
negatif, tanpa mau melihat fakta (sejarah) tentang kretek yang ada. (Rosidi)
Post A Comment
Tidak ada komentar :