Menelisik Suara Hati ‘’Kartini Kretek’’

Besarnya kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) melalui cukai kepada negara, tidaklah dapat dimungkiri. Ada ‘’Kartini Kretek’’ di balik besarnya kontribusi IHT untuk negara. 
Ibu-ibu buruh perempuan sedang melinting rokok kretek
Adzan shubuh belum lagi terdengar. Namun Suwarti sudah beranjak dari peraduannya. Hawa  dingin yang menusuk tulang, tak diindahkannya. Ia pun mulai menyapu halaman rumahnya, lalu mengambil beras dan kemudian menanaknya.
Begitu adzan shubuh berkumandang, buru-buru ia pun bersih-bersih diri, lalu mengambil wudlu dan  kemudian shalat. Setelah itu, istri Sukisno ini masih menyempatkan menengok dua buah  hatinya yang masih terbaring tidur, sebelum ia berangkat menuju tempat kerja.
Suwarti, warga RT 2 RW I Desa  Sambung,  Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, ini adalah buruh bathil di  salah  satu  Industri  Hasil Tembakau  (IHT)  atau  yang akrab dikenal dengan pabrik rokok di Kabupaten Kudus.
Sudah lebih dari 13 tahun ibu dari Humaidatul Zahratul Ulya dan Fahrurrozi ini melakoni aktivitas  kesehariannya sebagai pekerja IHT. Dia tidak sendirian. Lebih dari seratus perempuan di desanya juga  bekerja  di  sektor  yang sama di Kota Kretek. 
‘’Setiap hari kami berangkat  kerja  bersama-sama dengan  naik  angkutan  langganan. Satu angkutan rata-rata ditumpangi 20 pekerja. Sekali jalan, ongkos yang kami keluarkan Rp 1.500. Jadi ongkos pergi dan pulang sebesar Rp 3.000,’’ terang Suwarti.
Pekerjaannya yang menuntut ia  sudah  harus  berangkat  pukul  04.30, membuatnya  tidak  sempat mengambilkan sarapan bagi anak-anak dan mengantarnya sekolah. Namun binar kebahagiaan tetap terpancar dari matanya. ‘’Selain membantu suami, saya bekerja ini buat masa depan anak-anak,’’ ujarnya.
Hal serupa  juga  dilakoni ratusan ribu buruh bathil lain di  perusahaan-perusahaan yang bergerak di IHT di Kudus, yang kesehariannya bertugas merapikan rokok kretek sebelum dikemas. Sri Zuliana, salah satunya. Sebagaimana Suwarti, istri  Hadi  Mulyanto dan ibu dari Andre Daniar dan Ricky  Ilham  Maulana, ini juga harus bangun pagi-pagi benar sebelum berangkat ke tempat kerja.
‘’Sudah lebih 13 tahun saya kerja di Djarum Pengkol, tepatnya tiga bulan setelah melahirkan anak  pertama,’’ ungkap warga RT 4 RW V Desa Ploso, Kecamatan Jati, Kudus.
Tolak Kebijakan Diskriminatif
Fakta bahwa IHT menyumbang cukai dan pajak yang tidak sedikit bagi negara, tidak dapat dibantah. Namun ironisnya, sumbangan besar sektor IHT bagi negara, tidak mendapatkan apresiasi yang semestinya.
Sebaliknya, berbagai kebijakan diskriminatif justru bermunculan. Seperti adanya kebijakan membuat Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai kota, adanya usaha kelompok  anti  kretek yang mendorong  Presiden segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan pembatasan ruang promosi.
Lainnya, pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang  Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan per 24 Juni 2014. PP ini lengkapi dengan lembaran Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 28  Tahun 2013 tentang Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau. Yakni  mengenai  ketentuan kemasan (packaging) rokok (kretek) tampil dengan gambar yang ‘’menyeramkan’’.
Kendati  tidak  begitu memahami  betul  berbagai aturan (kebijakan) yang menyudutkan IHT,  namun sebagai buruh yang menggantungkan perekonomian keluarganya dari sektor industri kretek, baik Suwarti maupun Sri  Zuliana tidak setuju jika ada  kebijakan yang menggoyang industri di mana ia bekerja.
‘’Kami tidak setuju jika pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang menyudutkan dan bisa berdampak pada keberlangsungan IHT. Perusahaan di sektor IHT ini telah membuka lapangan  pekerjaan bagi masyarakat. Jika karena ada kebijakan yang mengancam keberadaan IHT, maka  ancaman pengangguran akan merajalela,’’ tegas Suwarti.
Dalam pandangan Sri Zuliana, perusahaan-perusahaan berbasis industri kretek yang banyak berdiri di Kudus, telah membantu pemerintah dan mengambil peran yang besar dalam penyediaan  lapangan pekerjaan bagi  masyarakat.
‘’Kalau tidak ada perusahaan rokok di Kudus, kasihan suami-suami, tidak ada yang membantu  mencari  nafkah. Banyak perempuan menganggur. Pekerja rokok di Kudus tidak hanya dari kota ini saja, tetapi banyak juga  dari kabupaten sekitar,’’ katanya.
Karena itu, menurutnya, justru pemerintah harus berterimakasih atas peran IHT dalam membantu  menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. ‘’Harusnya pemerintah ikut memperhatikan pekerja,  seperti membantu layanan kesehatan. Bukan malah membuat kebijakan yang menyudutkan. Bagaimana nasib ratusan ribu pekerja jika IHT ini terancam keberadaannya?’’ tuturnya.
Hendira Ayudia Sorentia, S.Pi., aktivis  perempuan di Semarang, melihat diskriminasi  terhadap  IHT  dengan dalih kesehatan. ‘’Isu kesehatan selalu membungkus kebijakan pemerintah berkaitan  dengan  rokok (kretek-Red).  Padahal  banyak  makanan  dan  bahan makanan lain yang berisiko bagi kesehatan, seperti MSG, soda, jeroan, pemanis  buatan dan lainnya.’’
Dia pun mengemukakan, seharusnya pemerintah membuat kebijakan, yang, paling tidak, bisa  mengatur dan mengontrol peredaran makanan yang berisiko bagi kesehatan tersebut. ‘’Di titik inilah  terdapat  diskriminasi kedua,’’ ujarnya.
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) ini berpandangan, para  pembuat kebijakan di Indonesia, sudah terseret arus pemikiran ‘ala  Amerika, bahwa merokok itu ‘’tidak modern’’.
“Jika dirunut latar belakangnya, Amerika yang sekarang (bukan warga pribuminya) memang tidak mempunyai tradisi merokok secara turun temurun dari leluhurnya. Berbeda dengan orang Indian  yang sampai kini masih merokok alami,’’ terangnya.
Hampir sama dengan orang Indian, ungkap Ayudia, masyarakat Nusantara juga mempunyai tradisi  mbako turun temurun, yang digunakan sebagai media sosial dan spiritual. “Jadi mereka tidak bisa  di-judge  sebagai masyarakat primitif karena tradisinya ini,” tandasnya. (Rsd, Hr)
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :