Menghitung Dampak Kebijakan Kenaikan Tarif Cukai
| Zamhuri |
CUKAI rokok ditarget mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Nilainya pun sangat fantastis. Pada 2015, target
cukai rokok adalah Rp 139 triliun, dan tahun mendatang (2016), target itu
mengalami kenaikan cukup tinggi, yakni Rp 146,43 triliun, dengan kenaikan tarif
cukai sekitar 15 % dari tahun 2015.
Tarif cukai rokok di Indonesia
yang selalu mengalami kenaikan tiap tahun, ini tidaklah berdiri sendiri,
melainkan karena adanya pengaruh dari Framework
Convention on Tobacco Control (FTCT) yang oleh kelompok antitembakau
diminta segera diratifikasi.
Kebijakan menaikkan cukai setinggi mungkin, ini merupakan rekomendasi dalam guideline hasil pertemuan Conference of Parties (CoP) ke-4 di
Uruguay pada 2010, yakni menerapkan tarif cukai dan pajak
mencapai 80 persen dari harga rokok.
Kebijakan memungut tinggi cukai dan pajak rokok, betujuan mengurangi tingkat konsumsi terhadap
rokok, namun ini tidak terbukti. Tarif tinggi cukai dan pajak yang terjadi justru memicu perdagangan
rokok gelap di berbagai Negara, karena telah melampaui daya beli masyarakat.
Ada empat hal yang bisa timbul dengan adanya kebijakan cukai dan pajak
tinggi terhadap rokok. Pertama,
mematikan pabrikan level kecil dan menengah. Mengapa ini terjadi, karena keuntungan pabrikan rokok kecil lebih sedikit dari keuntungan yang diperoleh
Negara.
Dampak dari tingginya tarif cukai dan pajak rokok, adalah penyusutan jumlah
pabrik dari tahun ke tahun. Pada 2009, pabrikan rokok secara nasional berjumlah
3.225 unit, yang menyusut tajam pada tahun berikutnya (2010) menjadi 2.600
unit. Penyusutan tajam juga terjadi pada 2013 hingga tinggal 800 unit, dan
tahun berikutnya (2014) bahkan semakin memprihatinkan, yaitu tinggal 600 unit.
Kedua, memudahkan subtitusi industri kretek nasional. Dengan menyusutnya industri
kretek nasional, akan memberikan jalan lapang bagi kelompok tertentu memenangi
persaingan di sektor industri kretek. Karena industri ini memiliki nilai
ekonomi (omzet) yang sangat besar, yaitu sekitar Rp. 276 triliun berdasarkan
data yang dikeluarkan Ernset & Young pada 2015.
Ketiga, menaikkan pendapatan negara. Ini bisa dipahami karena dari total Rp. 276
triliun omzet industri kretek itu, 52,7 % masuk ke negara melalui cukai dan
pajak. Jadi, praktis kenaikan cukai dan pajak itu sebetulnya bertujuan untuk
menaikkan pendapatan negara. Sayangnya kenaikan tarif cukai ini tanpa
memperhitungkan kondisi riil dan keberlangsungan industri kretek nasional,
khususnya bagi kelompok usaha kecil dan menengah.
Keempat, pemicu meningkatnya perdagangan rokok ilegal. Makin tinggi nilai cukai dari tingkat keekonomian, kemungkinan paling besar yang akan terjadi adalah makin besar potensi
kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah, yang pada gilirannya justru mendorong potensi munculnya rokok ilegal.
Bisa dipahami, bahwa niat menaikkan cukai dan pajak rokok, adalah untuk meningkatkan
pendapatan negara. Namun mestinya pemerintah tidak hanya menjadikan industri
kretek sebagai ‘’sapi perah’’, namun ada upaya-upaya lain di luar cukai rokok
yang bisa digali oleh pemerintah.
Harus disadari pula, kebijakan menaikkan cukai dan pajak rokok, menjadi tidak
sangat tidak strategis dan tidak tepat diberlakukan di Indonesia, karena
dampaknya yang luar biasa besar. Jika kemudian pabrikan tutup, misalnya, maka
gejolak dan konflik horisontal bisa saja muncul, karena para buruh terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Penyusutan jumlah tenaga kerja
industri rokok ini, terjadi bersamaan dengan penyusutan jumlah pabrikan yang
ada. Tidak sedikit jumlah pekerja yang harus dirumahkan, akibat tidak mampu lagi
berproduksi yang salah satunya diakibatkan oleh tingginya cukai dan pajak
rokok.
Dalam lima tahun, 2009-2014,
tercatat 107.500 tenaga kerja (buruh) terkena PHK. Tahun 2009, PHK dialami oleh
41.875 tenaga kerja, tahun berikutnya (2010) sebanyak 15.625 juga dirumahkan,
tahun 2011 sebanyak 1.500 tenaga kerja di PHK, 2012 (38.500 tenaga kerja), 2013
(5.000 tenaga kerja), dan tahun 2014 jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sama
dengan tahun sebelumnya, yakni 5.000 tenaga kerja.
Akhirnya, pemerintah melalui
institusi terkait, harus menghindarkan adanya gap harga nominal tarif antargolongan/layer dan antarjenis rokok
(SKM/SKT/SPM) agar tidak terlalu dekat, karena akan mengakibatkan persaingan
tidak sehat. Kebijakan kenaikan cukai juga harus proporsional, sehingga dapat
menjaga pertumbuhan industri dan menahan laju rokok ilegal. (Zamhuri)
Post A Comment
Tidak ada komentar :