IHT Di Tengah Tekanan Regulasi

Diakui atau tidak, pemerintah tidak bisa mengabaikan keberadaan Industri Hasil Tembakau (IHT) di tanah air. Sebab, negara mendapatkan pemasukan yang sangat besar dari sektor ini, yakni kurang lebih 9,8 % dari total pendapatan pajak dan cukai yang masuk dalam APBN.
Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, mengutarakan hal itu kepada Suara Merdeka, Selasa (29/12/2015). ‘’Maka mestinya pemerintah membuat kebijakan yang bersifat resiprokal (timbal-balik) positif, holistik, berpihak, dan melindungi keberlangsungan IHT,’’ tegasnya. 
Namun fakta ironis yang ada, terang Zamhuri, hingga 2015, pengaruh rezim Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) masih sangat mendominasi kebijakan pengelolaan IHT di Indonesia. Salah satu konten dari FCTC itu, yaitu peningkatan cukai rokok, yang menyebabkan kesulitan pelaku usaha, terutama di level menengah ke bawah untuk menyesuaikan kebijakan tersebut.
‘’Lantaran adanya kebijakan yang memberatkan ini, khususnya di level industri kelas bawah dan menengah, mengakibatkan menurunnya jumlah industri rokok (kretek) di tanah air. Berdasarkan data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), pada 2009, jumlah pabrik mencapai 3.225 unit, namun pada 2014 tinggal 600 unit saja,’’ jelasnya.
Di luar itu, lanjutnya, roadmap yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian, yang membatasi jumlah produksi rokok nasional, juga menjadi tidak logis. ‘’Konsumsi rokok selalu mengalami pertumbuhan, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang segaris dengan bertambahnya jumlah konsumen rokok di Indonesia,’’ paparnya.
Dia mnambahkan, adanya budaya kretek yang menjadi daya dukung pasar kretek nasional, ikut mendukung terhadap pertembuhan IHT. ‘’Permintaan terhadap konsumsi rokok akan tetap tinggi dengan adanya budaya kretek ini. Jika tidak dikelola secara bijak, justru akan jadi bumerang terhadap industri kretek nasional,’’ tukasnya.
Dari mana kebutuhan akan rokok ini dipasok? ‘’Tentu dari produksi di luar produksi yang teregistrasi oleh pemerintah, yang oleh pemerintah disebut dengan rokok ilegal. Rokok ilegal menyebabkan kerugian negara, karena negara tidak mendapatkan pemasukan,’’ katanya. 
Berbagai kebijakan yang tidak berpihak di atas, masih ditambah dengan ketatnya regulasi yang menekan IHT, baik di pembatasan jumlah produksi, konsumsi, dan sejumlah konten kampanye anti-tembakau yang diadopsi menjadi regulasi. ‘’Dengan kata lain, pemerintah kurang memberikan jaminan kebebasan dan pembinaan terhadap pelaku industri,’’ urainya.
Untuk itu, Zamhuri berpandangan, RUU Pertembakauan yang telah masuk dalam 37 RUU Prolegnas prioritas 2015, mesti jadi bagian dari salah satu (ikhtiar) mencari solusi dalam mengelola industri kretek nasional. ‘’IHT harus dilindungi, karena memiliki peranan dan sumbangsih yang besar bagi pembangunan ekonomi di negara ini,’’ tandasnya. (Rsd
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :