FCTC Bagian dari Proxy War
Masih segar dalam ingatan, Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control
(FTCT) sebagai ancaman nasional atau ancaman negara. Sebagai pucuk pimpinan
TNI, tentu Jenderal Gatot Nurmantyo tidak gegabah dalam mengeluarkan
statemen ke publik, apalagi terkait
dengan isu sensitif seperti kretek (rokok).
Bagi peneliti Pusat Studi Kretek
Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, statemen Panglima
TNI yang menegaskan keberpihakannya pada kretek, ini bisa dipahami betul. ‘’FCTC
merupakan produk regulasi asing, yang jika diadopsi sebagai produk kebijakan
dan regulasi, dapat mengancam perekonomian dalam negeri. Maka tidak salah jika
Panglima TNI FCTC bagian dari proxy war,’’ katanya.
Zamhuri menambahkan, sikap Panglima TNI
ini tidak saja menunjukkan kecerdasannya dalam menganalisis berbagai hal yang
dapat mengancam kedaulatan negara secara fisik, juga dari hal-hal yang
mengancam pertahanan dari sektor ekonomi.
Dia mengemukakan, setidaknya empat
ancaman jika FCTC diratifikasi. Pertama,
pengaturan ingredient dan larangan
aromatik rokok. Kedua, pengaturan diversifikasi dan penggantian tanaman tembakau ke
tanaman lain. Ketiga, penerapan tarif
cukai mencapai 80 % dari harga rokok. Dan keempat,
ancaman pembatasan lembaga negara berhubungan dengan industri rokok.
‘’Pengaturan terkait industri kretek
yang ada di Indonesia saat ini saja, banyak yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi, karena bertentangan dengan hak-hak hukum, hak
ekonomi industri rokok di suatu negara. Industri kretek (rokok) adalah industri
legal yang memiliki hak yang sama dengan warga lain dalam suatu negara,’’
paparnya.
Di luar empat ancaman di atas, sebutnya,
berbagai peraturan yang mengarah pada pengaturan ingredient, juga akan
berdampak pada struktur pasar kretek di waktu-waktu mendatang. ‘’Pasar kretek
baik Sigaret Kretek Mesin (SKM) maupun Sigaret Kretek Tangan (SKT) di
Indonesia, mencapai 93 persen dengan total omzet tak kurang dari Rp. 276
triliun pada 2014. Pasar ini akan terganggu jika FCTC diratifikasi,’’ tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa dalam
FCTC juga ada guide line yang
merupakan hasil pembahasan para anggota dalam pertemuan Conference of Parties
(CoP) (CoP) yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Kendati guide line dalam konvensi FCTC sifatnya
tidak wajib, namun kenyataannya kesepakatan hasil CoP merupakan aturan yang
mengikat anggotanya.
‘’Maka FCTC yang nota bene regulasi produk asing, tidak sekadar harus dicurigai,
tetapi harus ditolak. Adalah kesalahan fatal jika pemerintah sampai
meratifikasi FCTC, karena negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman dan
Zimbabwe pun tidak meratifikasinya sampai hari ini,’’ terangnya. (Rsd, Hr)
Post A Comment
Tidak ada komentar :