Independensi ICW Diragukan
Kecurigaan Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW),
Emerson Yuntho, terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan oleh DPR
sebagai ‘’RUU Mata Air’’, mendapatkan reaksi dari Pusat Studi Kretek Indonesia
(Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK).
Zamhuri, peneliti Puskindo UMK, mengatakan, terkait permasalahan
pertembakauan, ICW perlu diragukan independensinya. ‘’ICW pernah menerima dana
dari Bloombeng
Initiative dalam upaya kampanye pengendalian tembakau di Indonesia,’’
katanya.
Berdasarkan data Antara News
(29/6/2012), ICW menerima dana asing dari Bloomberg Initiative sebesar 45.470
dolar AS atau setara Rp. 409.230.000. Dana itu dikucurkan untuk program periode
Juli 2010 hingga Maret 2012 terkait masalah tembakau.
‘’Melihat rekam jejak ICW yang pernah menerima dana dari Bloombeng Initiative, maka perlu
diragukan independensinya dari pengaruh asing, terutama pemberi sumbangan. Dan
tentu saja, hal itu memperngaruhi juga framing
dalam melihat permasalahan pertembakauan, tak terkecuali di proses pembahasan
RUU Pertembakauan ini,’’ tuturnya.
Terkait persoalan pertembakauan, lanjut Zamhuri, justru sangat
menarik arahan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada menterinya
belum lama ini, yang berpesan agar kepentingan nasional lebih dikedepankan.
‘’Presiden menekankan kepada para menterinya dalam menyikapi FCTC,
harus mengedepankan kepentingan nasional. Terlebih, sektor pertembakauan
merupakan salah satu sumber pendapatan nasional strategis, yang memberikan
kontribusi besar bagi penerimaan negara dan menopang perekonomian rakyat. Tahun
2015 saja, sumbangan dari cukai mencapai Rp. 139,1 Triliun, belum termasuk
pajak dan retribusi lainnya,’’ tegasnya.
Selain itu, terang Zamhuri, Presiden mengingatkan pentingnya
mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau. Industri pertembakauan di
Indonesia tidak kurang dari 5,98 juta pekerja, terdiri atas 4,28 juta pekerja
di sektor manufaktur dan distribusi, dan 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan.
Dari 1,7 juta pekerja, sekitar 528.000 petani adalah tembakau, sekitar 1 juta
petani cengkih dan sekitar 115.000 pekerja pendukung industri pengeringan dan
pengolahan tembakau. (Sumber: BPS, Ditjen Perkebunan, diolah Puskindo).
‘’Besarnya jumlah rakyat yang menggantungkan perekonomiannya dari
sektor tembakau bisa lebih besar jika kita melihat dampak multiplier effect dari keberadaan produk-produk tembakau. Seperti
usaha di bidang kertas, percetakan, advertising, jasa transportasi, hingga
bergeraknya pasar tradisional dan modern dan lain sebagainya,’’ ungkapnya.
Yang lebih menarik lagi, Presiden tidak ingin sekadar ikut-ikutan
tren negara-negara lain. Sikap ini merupakan kearifan dari seorang Presiden,
yang tentunya berangkat dari pemahaman akan kondisi obyektif yang ada di tanah
air.
‘’Pernyataan Presiden ini sejalan dengan RUU Pertembakauan yang
saat ini dibahas DPR. Jika ada yang menolak RUU pertembakauan, berarti setuju
agar masalah kedaulatan bangsa dalam mengatur pertembakauan diatur oleh bangsa
lain melalui regulasi di tingkat global,’’ tegasnya.
Ditandaskannya, dengan menolak RUU pertembakaun, berarti menolak
adanya kepentingan nasional yang menyangkut jutaan hajat hidup orang banyak
diatur dengan UU. ‘’Keberadaan UU ini merupakan hasil kompromi dari semua
komponen masyarakat, tidak bisa satu kelompok memaksakan kepentingannya agar
suatu UU menguntungkan mereka tanpa melihat kepentingan kelompok masyarakat
lain,’’ urainya. (Rsd, Hr)

Post A Comment
Tidak ada komentar :