Gerbang Kretek dan Simbol Peneguh Zaman
Oleh Zamhuri
PEMBANGUNAN Gerbang Kudus Kota Kretek (K3) di Jambatan
Tanggungangin, berbatasan dengan Kabupaten Demak, memberi warna baru dan
menambah eksotisme Kabupaten Kudus. Sebuah penanda identitas Kudus sebagai Kota
Kretek. Rabu, 27 April 2016, lalu diresmikan.
Pembangunan Gerbang K3 ini, memiliki argumen sosiologis yang
sangat kuat. Pertama, Gerbang K3 sebagai manifestasi simbol peneguhan pada
realitas kehidupan masyarakat di Kudus dan sekitarnya yang bergantung pada
keberadaan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Kudus sebagai sentral produsen kretek di tanah air merupakan bukti
otentik secara historis, bahwa Kudus bukan hanya tempat penemuan kretek an sich, tetapi aktivitas usaha dan
dampak multi player effect ekonomi masih berdenyut hingga
kini.
Sebagai identitasi keberadaan IHT, Gerbang K3 bisa dimaknai
sebagai warning bagi pihak manapun
yang mencoba mereduksi apalagi berupaya mengeliminasi keberlangsungan IHT di
Kudus. Terutama bagi kelompok masyarakat maupun pihak-pihak yang masih
mempersoalkan keberadaanya. Kretek sebagai komoditas usaha yang legal telah
mengalami perjalanan panjang dalam mempengaruhi pasang surut ekonomi nasional.
Kontribusinya bagi perekonomian nasional, terutama dari sisi
penerimaan negara melalui cukai/pajak dan penyerapan tenaga, tidak bisa
dianggap remeh. Tahun 2015 lalu, cukai kretek memberi kontribusi secara
nasional tidak kurang dari Rp. 139 trilliun. Dari Kabupaten Kudus penerimaan
sektor cukai tidak kurang dari Rp. 34 trilliun.
Sebuah angka yang jauh melampaui Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi
Jawa tengah dalam Peraturan Daerah (perda) nomor 5 tahun 2015 tentang APBD Propinsi
Jawa Tengah tahun anggaran 2016, yang hanya Rp. 13.8 trilliun.
Kedua, Keberadaan Gerbang K3 juga menjadi simbol artikulasi dan
aspirasi pentignnya keberadaan IHT berupa kretek yang memiliki sejarah panjang
perlu diperhatikan dan dilestarikan. Menurut peneliti Universitas Gadjah Mada
(UGM), Ghifari Yuristriadi, kretek memiliki nilai-nilai kepusakaan (heritage) dilihat dari berbagai
perspektif yang disyaratkan.
Regulasi Yang
Menekan
Ketiga, pesan keberadaan Gerbang K3 harus juga dipahami sebagai
jawaban atas respon negatif sebagian kelompok masyarakat yang memberi stigma dan apresiasi kontra produktif
terhadap produk kretek. Yang dialami oleh IHT dan kretek bukan upaya perlindungan
sebagai warisan budaya, justru banyak regulasi dan produk hukum yang
mendiskreditkan dan menyudutkan keberadaan kretek.
Seperti pemaksaan untuk meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian
Tembakau atau Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC) yang berpotensi memunculkan problem baru bagi
kelangsungan IHT nasional.
FCTC sendiri merupakan produk perjanjian internasional yang
diterbitkan atas dorongan dan prakarsa badan dunia World Health Organization (WHO). Regulasi ini diadopsi oleh Majelis
Kesehatan Dunia pada 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005.
Itulah sebabnya FCTC menggunakan label kesehatan sebagai dalih pengaturan
tembakau secara internasional. Namun, materi FCTC sendiri lebih banyak mengatur
masalah tata niaga, seperti pengurangan pasokan, pembatasan industri, standar
produk, CSR, dan pajak/cukai IHT.
Upaya memberlakukan FCTC secara global dilakukan dengan dua cara,
yaitu, pertama, semua negara didorong untuk meratifikasi peraturan ini ke dalam
hukum nasional. Kedua, mendorong masuknya prinsip-prinsip dan kaidah FCTC pada
produk undang-undang sektoral.
Aturan mengenai tembakau dan IHT seperti Peratuan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sebagai pelaksana
dari dari UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, serta regulasi turunannya seperti
Permenkes nomor 28 tahun 2013 tentang
Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk
Tembakau, Perda-perda mengenai Kawasan
Tanpa Tembakau (KTR), contok produk
hukum positif yang kontennya diadopsi dari FCTC.
Menjaga Warisan
Kita mesti banyak belajar dari pengalaman yang terjadi di
masa-masa sebelumnya. Banyak kekayaan, budaya atau warisan bangsa ini yang
kemudian diakui (diklaim) sebagai milik bangsa lain, karena bangsa ini sendiri
tidak bisa menghargai, merawat, menjaga, apalagi melestarikannya.
Situs www.pusakaindonesia.org pada 2013 melansir data yang sungguh
mencengangkan, betapa banyak sekali khazanah budaya dan kekayaan nasional yang
diklaim, dan dipatenkan negara lain karena negara kita mengabaikan.
Batik Jawa diklaim Adidas, Malaysia mengklaim naskah kuno dari beberapa
daerah, yakni Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara,
termasuk Rendang dan Tari Pendet yang juga diklaim milik Malaysia.
Lalu, ada Sambal Bajak dari Jawa Tengah yang diklaim oleh oknum warga
negara Belanda, termasuk Sambal Petai dan Sambal Nanas, Kursi Taman Ornamen
Ukir Jepara (Jawa Tengah) diklaim oknum warga negara Perancis, Desain Kerajinan
Perak Desak Suwarti (Bali) diklaim oknum warga Amerika, Produk Berbahan
Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia diklaim Shiseido Co Ltd.
Terbanyak, adalah klaim Negeri Jiran (Malaysia) atas khazanah
budaya Indonesia, termasuk klaim atas lagu ‘’Rasa Sayang Sayange’’ dari Maluku,
Badik Tumbuk Lada, Musik Indang Sungai Garinggiang, dan Alat Musik Angklung.
Akankah kita juga akan merelakan kretek diklaim juga oleh negara
lain? Pertimbangan ini, paling tidak bisa menjadi pemikiran pemerintah dan juga
kelompok anti tembakau agar lebih bijak melihat kretek. Kretek adalah warisan
budaya yang mesti dijaga.
Jika kebijakan pemerintah Indonesia lebih menguntungkan dominasi
kepentingan asing, dalam investasi, perdagangan, dan keuangan, maka Industri
kretek nasional akan semakin tergusur keberadannya. Perusahaan asing, seperti
Philip Morris, BAT, dan lainnya, yang telah mengakuisisi IHT nasional akan
melemahkan daya saing perusahaan nasional, dan mengancam ribuan produsen pengusaha
skala kecil dan menengah akibat kebijakan regulasi yang tidak memihak kepentingan
nasional.
Pembangunan Gerbang K3 di Kabupaten Kudus, sebagai respon simbolik
perlunya bangsa ini menjaga dan melestarikan kretek yang telah memberi
kontrbusi besar pada masyarakat hingga saat ini.
Zamhuri,
Peneliti Pusat
Studi Kretek Indonesia (PUSKINDO) Universitas Muria Kudus.
Labels
Pringgitan
Post A Comment
Tidak ada komentar :