Ini Empat Ancaman Jika Pemerintah Ratifikasi FCTC
Dalam pandangan peneliti Puskindo UMK, Zamhuri, setidaknya empat ancaman
jika FCTC diratifikasi. Pertama,
pengaturan ingredient dan larangan aromatik rokok. Penolakan standardisasi ingredient
produk ini karena akan memicu membanjirnya rokok putih di Indonesia, juga
tembakau import.
Ancaman membanjirnya tembakau import ini, lantaran standardisasi
produk dengan tembakau yang nikotin dan tar-nya sesuai standar WHO, lebih bisa
dipenuhi tembakau luar negeri. Dampaknya, petani tembakau lokal dan buruh rokok
kretek pun terancam kehilangan pekerjaan.
Dia menjelaskan, kandungan tar dan nikotin rokok kretek nasional
saat ini berkisar 40-60 miligram dan 3-4 miligram, masih tiga kali lipat
standar WHO. ‘’Karena bahan baku tembakau lokal kadar nikotinnya tinggi, maka
harus dipenuhi dengan cara impor. Pilihan lainnya, membeli mesin laser pembuat
filter yang canggih. Ini tentu akan sulit dipenuhi produsen kecil, meskipun
diberikan waktu adaptasi hingga 10 tahun lamanya,’’ tuturnya.
Kedua,
pengaturan diversifikasi dan penggantian tanaman tembakau ke tanaman lain.
Disebutkan dalam Pembukaan FCTC alenia ke-12 menetapkan dilakukannya pemutusan
rantai suplai bahan baku tembakau, untuk menghapus seluruh bentuk perdagangan
tembakau dan rokok di negara-negara anggota.
‘’Pasal 17 dan 26 poin e
FCTC menegaskan bentuk pemutusan rantai suplai bahan baku dalam program
diversifikasi (pengalihan) tembakau para petani dan buruh pengolahan tembakau
ke jenis tanaman lain. Spirit penggantian tanaman tembakau ini diadopsi dalam
PP 109/2012 pasal 7 dan 58,’’ ungkapnya. Pengaturan diversifikasi ini memicu
kegelisahan para petani tembakau Indonesia, karena petani tidak bisa sertamerta
mengalihkan tanaman komoditi lain.
Ketiga,
penerapan tarif cukai mencapai 80 % dari harga rokok. Pasal 6 FCTC mengatur
mengenai pengenaan cukai dan pajak tembakau dan rokok setinggi mungkin, supaya
bisa mengurangi konsumsi tembakau. Asumsi dasarnya, jika cukai dan pajak
tinggi, maka tingkat konsumsi masyarakat terhadap rokok akan menurun.
‘’Kebijakan ini
direkomendasikan melalui guideline
hasil pertemuan Conference of Parties
(CoP) ke-4 di Uruguay pada 2010. Dalam CoP ke-4 di Uruguay ini, negara-negara
anggota didorong untuk menerapkan tarif cukai dan pajak mencapai 80 persen dari
harga rokok,’’ katanya
Tetapi asumsi tingginya tarif cukai dan pajak tinggi untuk
mengurangi konsumsi rokok, tidak terbukti. Berdasarkan data-data pasar rokok
gelap di dunia, harga rokok yang tinggi telah memicu perdagangan rokok gelap di
berbagai negara karena telah melampaui angka psikologis kemampuan beli
masyarakat.
Keempat,
ancaman yang akan muncul jika FCTC diratifikasi, yaitu pembatasan lembaga
negara berhubungan dengan industri rokok. ‘’Pasal 5.3 FCTC disebutkan,
lembaga-lembaga negara anggota dilarang berinteraksi dengan industri tembakau
dalam upaya komersialisasi. Pengaturan ini telah disokong dalam guideline hasil
CoP ke-3 tahun 2008 di Durban, Afsel,’’ urainya.
Bagi Zamhuri, pengaturan seperti itu sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi, karena bertentangan dengan hak-hak hukum, hak
ekonomi industri rokok di suatu negara. ‘’Industri rokok adalah industri legal
yang memiliki hak yang sama dengan warga lain di dalam suatu negara,’’
paparnya.
Menurutnya, jika prinsip pembatasan diterapkan, akan berdampak
pada merosotnya national interest
suatu negara terhadap industri nasional mereka dalam rangka perlindungan
kepentingan nasional.
‘’Dari sisi kedaulatan
negara yang merdeka seperti Indonesia, keikutsertaan sebagai anggota FCTC dapat
mendistorsi aspek kedaulatan negara, karena terjadinya perubahan regulasi hasil
CoP anggota yang dapat mereview kebijakan nasional di bidang pertanian,
perdagangan, dan industri, karena FCTC bersifat dinamis,’’ ujarnya.
Di luar empat ancaman di atas, berbagai peraturan yang mengarah
pada pengaturan ingredient, akan berdampak pada struktur pasar kretek di
waktu-waktu mendatang. ‘’Pasar kretek baik Sigaret Kretek Mesin (SKM) maupun Kretek
Tangan (SKT) di Indonesia, mencapai 93 persen dengan total omzet tak kurang
dari Rp. 276 triliun pada 2014. Pasar ini akan terganggu jika FCTC
diratifikasi,’’ tegasnya.
Selain itu, dalam FCTC juga ada guideline yang merupakan hasil
pembahasan para anggota dalam pertemuan CoP yang diselenggarakan setiap dua
tahun sekali. Meskipun guideline dalam konvensi FCTC sifatnya tidak wajib,
namun kenyataannya kesepakatan hasil CoP merupakan aturan yang mengikat
anggotanya.
‘’Untuk itu, FCTC merupakan
regulasi produk asing yang tidak sekadar harus dicurigai, tetapi harus ditolak.
Adalah kesalahan fatal jika pemerintah sampai meratifikasi FCTC, karena
negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman dan Zimbabwe pun tidak meratifikasinya
sampai hari ini,’’ tandas Zamhuri. (Rsd,
Hr)

Post A Comment
Tidak ada komentar :